
Menengok aturan perpajakan yang akan berlaku mulai tahun 2009
Tentu saja banyak perubahan signifikan yang lahir dari beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 September 2008 itu. Sebut saja, tentang penurunan tarif PPh orang pribadi dan badan, masing-masing dari 36% menjadi 30%, dan dari 30% menjadi 28%.
Lalu, ketentuan yang mengatur penghasilan tidak kena pajak (PTKP) perseorangan dari saat ini paling sedikit Rp 13,2 juta setahun menjadi Rp 15,8 juta. Hal ini diharapkan bisa meringankan wajib pajak menengah ke bawah.
Dalam UU PPh yang baru juga ada pemberian fasilitas tarif khusus yang lebih rendah bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Disamping itu, pemerintah tetap memberikan insentif atawa keringanan pajak untuk mendorong investasi dan stabilisasi harga pangan.
Nah, dari beleid yang merupakan revisi UU Nomor 7/1983 tersebut muncul sedikitnya 16 peraturan pemerintah. Contohnya, yang mengatur soal bantuan atau sumbangan termasuk zakat. Lalu, aturan tentang warga Indonesia yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau populer dengan singkatan NPWP.
Departemen Keuangan masih menggodok rancangan peraturan pemerintah (RPP) itu. Dua diantaranya sudah selesai tahap harmonisasi di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham). Keduanya adalah RPP tentang tarif fiskal luar negeri dan RPH tentang PPH bidang usaha berbasis syariah.
Hanya, kedua produk turunan UU PPh ini belum terbit. Soalnya, "Belum ditandatangani Presiden."kata Djonifar Abdul Fatah, Direktur Perpajakan II Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Yang pasti, dia menambahkan, dua RPP itu akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2009.
Kalau aturan main soal fiskal tersebut sudah terbit, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Depkumham Wicipto Setiadi menjelaskan, wajib pajak yang mau plesiran ke luar negeri dan sudah memiliki NPWP tidak dipungut biaya fiskal sepeser pun.
Tapi, yang belum punya kartu sakti itu mesti merogoh kantong lebih dalam lagi. Pasalnya, Wicipto menyatakan, buat orang yang mau bepergian ke luar negeri melalui jalur udara tapi belum mengantongi NPWP, tarif fiskalnya naik, dari awalnya Rp 1 juta menjadi Rp 2,5 juta. Adapun yang lewat jalur laut, pemerintah menaikkan ongkos fiskalnya menjadi Rp 1 juta dari sebelumnya Rp 500.000.
Namun, tetap ada pengecualian, Meski belum memiliki NPWP, orang-orang ini tetap bebas fiskal. Pertama, tenaga kerja Indonesia alias TKI. Kedua, jamaah haji. Ketiga, mahasiswa yang akan belajar ke luar negeri. Keempat, orang yang bepergian untuk misi kesenian dan olahraga. Kelima, orang yang belum berusia 21 tahun dan masih menjadi tanggungan orang tuanya. Tapi tentu dengan syarat,"orang tuanya sudah memiliki NWP,"tambah Wicipto.
RPP PPh Bidang Usaha Berbasis Syariah juga akan mengatur tentang besaran tarif. "Angkanya sama dengan yang ada di undang-Undang PPh, yakni yang ada di Pasal 17 ayat 2c dan Pasal 23 ayat 23a,"papar Wicipto.
Pasal 17 ayat 2c UU PPh berbunyi: "Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% dan besifat final."
Sedangkan Pasal 23 ayat 23a isinya: "Kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak sebesar 15% dari jumlah bruto."
Djonifar bilang, aturan dan penerimaan perpajakan selalau berdiri dua sisi layaknya uang logam. Artinya, regulasi mendukung pemasukan negara dari pajak tapi juga harus netral dan adil. "Sesuai dengan berat yang dipikul sehingga tidak memberatkan pemerintah dan wajib pajak,"ujarnya.
Tahun depan, Ditjen Pajak kebagian beban setoran sebanyak Rp 647,8 triliun. Salah satu cara untuk memenuhi target ini adalah lewat pelaksanaan UU PPh yang baru. Jelas, mencapai target itu bukan tugas yang gampang lantaran krisis global belum berakhir.
Ketua Umum Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi sudah memberi sinyal pemerintah bakal kehilangan pajak Rp 200 triliun tahun depan. "karena bisnis usaha tidak bisa berjalan,"ungakp dia.
Pajak daerah
Satu lagi produk hukum yang mengatur upeti di tahun kerbau adalah pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Penggodokan rancangan Undang-Undang (RUU) ini sudah mendekati final. "Tinggal pajak rokok saja yang ,masih alot,"ungkap Ketua Panitia Khusus RUU PDRD Harry Azhar Aziz.
Aturan pajak daeeah lain, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) sudah oke. Wewenang memungut upeti iini di sektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan masih menjadi milik pemerintah pusat. Sedang di bidang perkotaan dan pedesaan pindah ke tangan pemerintah daerah (pemda).
Kemudian, pembahasan pajak kendaraan bermotor juga sudah kelar. hasilnya, tarif dikerek 1,5% dari yang berlaku sekarang. Kalau punya kendaraan lagi atas nama oarang yang sama, pajaknya naik 10%. "Begitu seterusnya naik 100%, progresif atas nama orang yang sama,"ujar Harry.
Hanya, Pemda tidak boleh lagi menarik pajak lingkungan. Meski kalau ditotal seluruh daerah berpotensi kehilangan Rp 4 triliun-Rp 5 triliun, mereka akan dapat kompensasi. Dari PBB, pemerintah daerah bisa memperoleh Rp 7 triliun sampai Rp 8 triliun.
Harry memastikan UU PDRD yang baru ini tidak bakal memberatkan pengusah di daerah. Sebab, ada kejelasan mana yang boleh dan tidak boleh dipungut pajak dan retribusi. Sebelumnya, "Pemda banyak bikin peraturan daerah (perda) yang bermasalah."kata anggota DPR dari fraksi Parta Golkar ini.
by: S. S. Kurniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar