Minggu, 18 Januari 2009

Mencermati Pola Pajak Akhir Tahun

Saat ini kita sudah memasuki triwulan terakhir 2008. Berkaitan dengan penerimaan pajak, prediksi pencapaian penerimaan pajak wajib dilakukan. Salah satu analisis yang penting dilakukan segenap jajaran Ditjen Pajak adalah meneliti pola penerimaan pajak pada triwulan terakhir ini serta faktor-faktor yang memengaruhinya.

Setidaknya, dengan mengetahui pola historis penerimaan pajak, jajaran Ditjen Pajak bisa segera mengidentifikasi masalah, menerapkan kebijakan, dan melakukan tindakan terhadap permasalahan tersebut.

Sedikitnya ada tiga hal yang berkaitan langsung dengan penerimaan pajak pada akhir tiwulan tahun ini. Yakni. Lebaran, pencairan dana proyek pemerintah (APBD/APBN). serta realisasi penyerapan anggaran pemerintah (APBN).

Lebaran dan Winfal) Tax

Ketika memasuki pertengahan Ramadan (nanti) -menuju Lebaran-, masyarakat akan lebih banyak melakukan kegiatan konsumsi terhadap barang-barang selain kebutuhan pokok seperti belanja pakaian baru dan sepatu baru. Indikatornya mulai tampak ketika omzet penjualan naik 30 persen (Java Pos. 8/9/2008).

Ketika permintaan tersebut semakin besar, mau tak mau akan meningkatkan inflasi yang diperkirakan 5-10 per-sen. Walaupun begitu, daya beli masyarakat bukannya malah menurun, tapi cenderung semakin tinggi. Fenomena musiman yang anomali tersebut terjadi setiap tahun dan akan terjadi berulang pada tahun-tahun berikutnya.

Ada dua jenis pajak yang akan mengalami keberuntungan akibat fenomena Lebaran ini (winfall tax). Yaitu, pajak penghasilan badan/orang pribadi dan pajak penambahan nila dalam negen (PPN DN). Kenaikan peredaran usaha (omzet) badan usaha atau orang pribadi akan meningkatkan penghasi-lan kena pajaknya (PKP).

Tapi, karena menganut sistem angsuran (lumpsum), keputusan menaikkan nilai setoran angsuran pajak harus dilakukan secepatnya oleh kantor pajak setempal. Kalau tidak, wajib pajak (WP) tetap membayar angsuran pajaknya sama dengan bulan-bulan sebelum ada lonjakan omzet.

Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi, inflasi tertinggi akan terjadi pada September ini. Salah satu faktor penyebabnya adalah konsumsi masyarakat yang tinggi karena fenomena puasa dan Lebaran. Karena dasar pengenaan PPN DN adalah harga jual, kenaikan hargajual (inflasi) akan otomatis mendorong kenaikan PPN DN.

Namun, persoalan utamanya, karena wajib pajak yang dapat memungut PPN DN adalah WP dengan status pengusaha kena pajak (PKP), efektivitas pemungutan tersebut akan sangat bergantung pada jumlah PKP yang terdaftar di wilayan itu.

Data di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan, pengenaan PPN masih kecil dibanding potensinya, diperkirakan potensi PPN setidaknya 7 persen dari PDB, sedangkan saat ini realisasi PPN baru mencapai 3.5 persen dari PDB.

Menurut saya, hilangnya potensi PPN tersebut disebabkan faktor belum banyaknya WP yang terdaftar sebagai PKP. Padahal, WP itu telah melakukan transaksi barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang secara UV terutang PPN.

Setelah sukses menggali penerimaan pajak di sektor kelapa sawit dan batu bara -walaupun juga sangat dipengaruhi melonjaknya harga dunia saat ini-. Ditjen Pajak akan fokus pada penggalian pajak dari sektor konstruksi dan realestat {Jawo Pos, 10/9/2008). Di beberapa kantor pelayanan pajak (terutama di daerah), dua sektor tersebut sangat mendominasi.

Pola penerimaan pajaknya sangat mirip dari tahun ke tahun. Mulai Januari sampai Juli, penerimaan di sektor tersebut cenderung rendah. Tapi, ketika masuk Agustus, penerimaan pajak akan bergerak secara eksponensial.

Penelitian menunjukkan, sektor konstruksi sangat berkaitan erat dengan proyek-proyek pemerintah, yang notabene dananya baru mulai cair sekitar Agustus. Alhasil, pada bulan-bulan berikutnya, penerimaan pajak sumbangan sektor itu akan meningkat tajam.

Salah satu sumber penerimaan pajak yang juga patut dicermati adalah penerimaan pajak yang dananya bersumber dari belanja modal dan barang pemerintah (APBN). Kalau dilihat, pola penyerapan anggaran masih kurang dari 100 persen. Walaupun beberapa tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan penyerapan anggaran, nilainya tidak mencapai 100 persen. Akibatnya, potensi pajak yang seharusnya masuk menjadi terhalang.

Padahal, dana sudah tersedia di depan mata. Seperti tahun-tahun sebelumnya, jangka waktu penyerapannya pun akan terjadi pada tn wulan terakhir ini. Karena itu. fokus Ditjen Pajak untuk terus mengawasi lebih ketat setidaknya bisa dimulai sejak sekarang.

Pengamanan Penerimaan

Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan Ditjen Pajak adalah membuat kebijakan sena kegiatan yang mengakibatkan potensi pajak yang ada tidak hilang atau tidak bisa digali. Untuk peningkatan angsuran, langkah yang bisa dilakukan adalah memberikan instruksi kepada setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia untuk meningkatkan angsuran bagi WPyang bergerak di sektor perdagangan.

Walaupun penghasilan dan perhitungan pajak secara keseluruhan akan juga dilaporkan ketika SPT tahunan WP tahun berikutnya, untuk menghindarkan rekayasa laporan keuangan dan memberatkan WP pada tahun berikutnya karena kesulitan likuidas. Ditjen Pajak harus segera memanfaatkan momen itu.

Menggali pajak penambahan nilai (PPN) dalam negeri bisa dimulai dengan program pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) secara jabatan tanpa pemeriksaan. Dengan database Ditjen Pajak Jan berprinsip pada kehomoge-nan sektor (sektoral) dan wilayah (jalan utama), saya pikir PKP secara jabatan tanpa pemeriksaan bisa dilakukan.

Mengapa? Sebab, program pengukuhan PKP selama ini hanya berpatokan pada batas minimal omzet yang dilaporkan memiliki kelemahan dalam hal keakuratan sena kevalidan data omzet yang dilaporkan WP.

Langkah itu akan menjaring langsung PPN. Sebab, setiap PKP diwajibkan memungut PPN dalam setiap transaksi yang dilakukannya. Dus, bila tidak melaporkan SPT masa PPN-nya, denda yang diberikan cukup besar, yaitu Rp 500.000.

Terkait dengan pencairan dana APBD dan atau APBN, Ditjen Pajak bisa menjalin kerja sama dengan pemda setempat untuk mengawasi pemungutan dan pemotongan pajak. Sebab, ditengarai masih banyak bendaharawan yang tidak melaksanakan kewajibannya selaku pemotong dan pemungut pajak.

Data terakhir menyebutkan, realisasi penerimaan pajak sampai Agustus 2008 mencapai Rp 318,74 triliun atau tumbuh 45.99 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Tren yang baik ini seyogianya dipertahankan..

Ditulis oleh
Chandra Budi, staf Direktorat Jenderal Pajak Deparlemen keuangan

SUNSET POLICY 2008 BUKAN JEBAKAN

Sunset Policy adalah suatu kesempatan berupa pemberian fasilitas atas dasar saling percaya, yaitu memberi kesempatan seluas-luasnya dengan memberikan keuntungan kepada masyarakat Indonesia baik yang belum maupun yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dengan secara terbuka dan jujur melaporkan seluruh harta dan penghasilan yang diperolehnya. Dengan adanya kepercayaan melalui pemanfaatan Sunset Policy yang dibangun bersama antara masyarakat dan pemerintah, maka era baru keterbukaan yang melandasi semangat untuk mengayunkan langkah tegap ke depan menuju kemandirian pembiayaan negara lebih jelas terlihat. Selain itu ketenangan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban kenegaraannya yaitu membayar pajak menjadi lebih pasti dan terjamin.

SEPERTI kita ketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan reformasi birokrasi antara lain reformasi kebijakan, utamanya amandemen undang undang perpajakan, dan reformasi administrasi. Sunset Policy merupakan bagian dari rangkaian reformasi birokrasi. Sunset Policy ini dituangkan dalam pasal 37A Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang merupakan salah satu hasil amandemen undang-undang perpajakan, dan diatur lebih lanjut dalam peraturan-peraturan pelaksanaan, sehingga mempunyai kepastian hukum yang jelas.

Sejak dipercepatnya pelaksanaan reformasi birokrasi di DJP yang disebut modernisasi administrasi perpajakan (sejak dua tahun yang lalu), maka telahdilakukan restrukturisasi organisasi yang berbasis pada fungsi, antara lain pembentukan unit eselon dua yang bertugas sebagai provost-nya pegawai, perbaikan business process dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi melalui peningkatan kemampuan dan mutu administrasi berdasarkan teknologi informasi terkini, mutu kinerja SDM berdasarkan kompetensi, peningkatan integritas dan loyalitas melalui berbagai cara antara lain penentuan Kunci Indikator Kinerja, penerapan kode etik yang ketat, mapping pegawai, pembangunan SOP, penerapanyoi grading, perbaikan remunerasi, dan sebagainya. Sehingga perangkat administrasi di DJP sudah siap. Oleh karena itu masyarakat tidak perlu takut dan ragu untuk memanfaatkan Sunset Policy karenamemang bukan jebakan.

Jika masih membutuhkan informasi dan ingin tahu tata cara dalam memanfaatkan fasilitas Sunset Policy ini dapat disampaikan melalui konsultasi di kantor pajak terdekat, atau dengan senang hati kami akan melayani melalui Kring Pajak di 500200 atau 021-5251234.

Segera daftarkan diri untuk memperoleh NPWP, sampaikan atau betulkan SPT Tahunan PPh dan mari kita bangun negeri ini bersama dengan penuh kejujuran dan keterbukaan. Karena nasib bangsa ada di tangan kita, dan majunya kita majunya Indonesia.

Sunset Policy Tinggal Dua Bulan Lagi

Krisis? Butuh Fasilitas? Manfaatkan Sunset Policy. Daripada ketahuan di tahun depan dan harus menanggung beban lebih berat, lebih baik ambil fasilitas yang ditawarkan oleh pemerintah melalui Sunset Policy. Fasilitas yang sangat menguntungkan ini adalah sepenuhnya hak masyarakat, baik yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun yang belum memiliki NPWP. Fasilitas ini diberikan dengan penuh keterbukaan, kenyamanan dan kemudahan. Fasilitas ini, selain menghapuskan sanksi pajak juga memberi jaminan seluruh data yang dilaporkan dalam SPT, dalam rangka Sunset Policy, tidak akan dianalisis sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan maupun penetapan pajak.

Tidak ada sama sekali jebakan ataupun hal-hal yang terselubung. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dengan reformasi birokrasi yang dinamakan modernisasi dan telah diakui serta dihargai oleh banyak kalangan, siap melayani Anda semua dengan terbuka dan penuh senyum.

Jadi tunggu apalagi, kesempatan tinggal dua bulan. Daripada tahun depan menanggung beban yang lebih berat, segera manfaatkan Sunset Policy.

Ditjen Pajak telah berupaya menyosialisasikan ke seluruh masyarakat yang berada di seluruh penjuru dunia melalui berbagai media, baik cetak, elektronik maupun online. Maka daripada menjadikan beban yang lebih berat lagi, tunaikan kewajiban pajak dengan patuh dan baik, manfaatkan Sunset Policy yang tinggal dua bulan lagi.

Selain itu, kita harus menyadari, jika pajak dapat dipungut secara maksimal sesuai dengan potensinya, maka pemerintah menjadi lebih leluasa untuk dapat meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Berbagai fasilitas umum dan sosial termasuk pendidikan dan kesehatan bisa gratis, lapangan kerja bertambah, pendapatan masyarakat meningkat dan akhirnya seluruh masyarakat merasakan kesejahteraan lahir dan batin.

Mari kita turut berkontribusi membayar pajak dengan benar sesuai penghasilan yang diperoleh. Apalagi fasilitas Sunset Policy yang sangat menguntungkan, bagi masyarakat yang memanfaatkannya, tinggal dua bulan lagi. Ingin tahu lebih banyak Sunset Policy? Hubungi kantor pajak terdekat, akses website www.pajak.go.id atau hubungi call canter Kring Pajak 500200.

Segera manfaatkan Sunset Policy, agar tidak menyesal kemudian.

Ditulis Oleh
Ikhsan Triyanto, Kepala Seksi Pengelolaan Berita Dit P2Humas

Sunset Policy Untuk Semua

Melegakan. Itulah ungkapan banyak pihak, terutama masyarakat wajib pajak (WP) pada akhir Desember 2008, menanggapi diperpanjangnya pelaksanaan sunset policy pajak selama dua bulan. Semula berakhir 31 Desember 2008, diperpanjang hingga 28 Februari 2009. Betapa tidak, menjelang berakhirnya pelaksanaan sunset policy, hampir seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tanah air kehadiran masyarakat yang ingin memanfaatkan sunset policy. Di beberapa kantor balikan terlihat tumpukan permohonan yang menggunung, yang harus segera dituntaskan. Padahal, tenaga dan sarana jumlahnya tetap. Di sisi lain, waktunya sudah sangat singkat, bahkan hampir habis.

Perpanjangan sunset policy juga karena banyaknya permintaan dari berbagai kalangan. Ada berbagai alasan yang diajukan masyarakat yang mendasari tuntutan perpanjangan waktu pelaksanaan sunset policy itu. Seperti, waktunya sangat singkat, sementara masyarakat masih butuh waktu mengumpulkan berbagai data sebagai bahan penghitungan akhir Pajak Penghasilan (PPh) untuk setiap tahun pajak.

Ada juga yang beralasan, mereka sedang fokus menangani bisnis terkait dampak krisis keuangan global ke Indonesia. Belum lagi ter-sitanya waktu dunia usaha untuk menutup buku, menyusun laporan keuangan 2008 serta rencana bisnis 2009.

Fasilitas Sunset policy Kondisi ini menunjukkan tingginya antusiasme masyarakat memanfaatkan sunset policy. Sekaligus juga indikasi makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pajak sebagai sumber utama penerimaan negara

Menanggapi kondisi simultan dan komprehensif masyarakat, utamanya Wajib Pajak (WP) dalam waktu singkat, tentu harus dicari solusi konstruktif dan produktif. Dari sisi kebijakan publik, perpanjangan pelaksanaan sunset policy merupakan solusi prima untuk semua pihak.

Sekadar mengingat kembali, sunset policy merupakan kebijakan penghapusan sanksi pajak berupa bunga atas keterlambatan pembayaran pajak, khususnya PPh tahunan. Adapun sanksi atas setiap keterlambatan pembayaran pajak dari waktu jatuh tempo yang ditetapkan, adalah berupa bunga 2% sebulan. Dasar hukum sunset policy adalah Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Ada dua kondisi yang akan mendapatkan sunset policy. Pertama, bagi WP badan dan orang pribadi yang telah terdaftar sebelum 1 Januari 2008, diberikan penghapusan sanksi pajak bila membetuikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh untuk tahun pajak 2006 dan tahun-tahun sebelumnya.

Kedua, untuk orang pribadi yang mendaftarkan diri sebagai WP dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sejak 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2008, diberikan penghapusan sanksi pajak bila menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2007 dan tahun-tahun sebelumnya. Ini terkait pengenaan dan terulangnya PPh sejak WP memenuhi syarat subjektif dan objektif.

Pembetulan SPT merupakan hak yang diberikan UU KLIP kepada WP. Hal ini terkait dengan penerapan sistem selfassessment dalam perpajakan kita. Yakni, diberikan kepercayaan kepada masyarakat (WP) untuk menghitung pajaknya sendiri dengan benar sesuai transaksi ekonomi yang dilakukan, memperhitungkan pajak-pajak yang telah dibayar atau dipungut/ dipotong pihak lain, menyetor, dan melaporkan pajaknya melalui SPT.

Nilai keekonomian sunset policy sangat tinggi bagi WP. Bisa kita hitung, bila terlambat membayar pajak 24 bulan, bunganya 48%. Jika pokok pajaknya Rp 20 miliar, bunganya mencapai Rp 9,6 miliar. Sebesar jumlah bunga inilah yang dihapus dengan program sunset policy. Siapa tidak ingin memanfaatkan?

Kini, bola di tangan masyarakat Belum lagi fasilitas lainnya. Yakni, tidak .ik in diperiksa, kecuali nantinya ada data baru {novum) bahwa yang dilaporkan dalam SPT ternyata belum benar. Seandainya pajaknya sedang diperiksa dan WP membetuikan SPT dalam rangka sunset policy yang pajaknya lebih besar dari penghitungan pemeriksa pajak (sebelum pemberitahuan hasil pemeriksaan), maka pemeriksaan dihentikan. Data yang dilaporkan di SPT sunset policy tidak digunakan untuk menetapkan pajak lainnya, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan lainnya

Perpanjangan sunset policy juga merupakan bagian dari kebijakan publik di bidang perpajakan. Perpanjangan itu sendiri bukanlah suatu pilihan mudah. Sebagai suatu kebyakan publik yang strategis, keputusan perpanjangan sunset policy jadi mengikat bagi banyak pihak.

Dimock (dalam Public Administration, 1960) mengatakan, pembuatan kebijakan publik senantiasa didasari oleh keinginan masyarakat. Kebijakan publik merupakan perpaduan dan kristalisasi dari pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan banyak orang dan golongan dalam masyarakat.

Seirama reformasi birokrasi dan modernisasi administrasi perpajakan yang terus dibangun dan dijalankan Ditjen Pajak, fokus perpanjangan sunset policy merupakan bentuk pelayanan publik. Sasarannya, dapat memperbaiki kualitas masyarakat dalam memandang dan melaksanakan kewajiban perpajakan pada negara

Keinginan masyarakat dalam sunset policy sudah dipenuhi pemerintah. Kini, bola kebijakan publik itu berada di tangan masyarakat. Pertanyaannya, masihkah masyarakat tidak mau melaksanakan kewajiban perpajakan melalui perpanjangan siinset policy dengan berbagai alasan? Kalau begitu, apa kata dunia?

Liberti Pandiangan,
Kepala Subdit Kepatuhan WP dan Pemantauan Direktorat Jenderal Pajak

Sabtu, 17 Januari 2009

Aksi Bersama Atasi Krisis Global

Stabilisasi pasar keuangan dan stimulus ekonomi global pada 2009 menuntut koordinasi antarpara pemimpin politik dunia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kegagalan koordinasi akan memperlambat pemulihan dan mengurangi secara keseluruhan dampak paket stimulus yang sedang dipertimbangkan atau diterapkan oleh beberapa pemerintah secara terpisah-pisah.

Lebih buruk lagi, tindakan yang terpecah-pecah akan membuahkan hasil yang mengarah pada kebijakan beggar thy neighbour, mengambil keuntungan dari upaya negara lain, yang berisiko malah mempercepat, bukan memecahkan krisis.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global membutuhkan stimulus fiskal sedikitnya 2% atau Aus$ 1.200 miliar pada 2009 untuk mencegah efek terburuk dari krisis ini. Para ahli ekonomi mengakui dana yang lebih besar lagi mungkin diperlukan bila kehancuran ke-

percayaan memicu rantai pengurangan utang dengan penjualan aset secara cepat, penumnan nilai aset, penurunan pendapatan, dan peningkatan pengangguran.

Beberapa tindakan telah diambil oleh beberapa pemerintah secara terpisah-pisah melalui kebijakan moneter dan pengumuman stimulus Rskal yang signifikan. Kenyataannya, banyak dari hal ini tidak akan dilaksanakan pada 2009, tetapi dalam tahun-tahun berikutnya. .

Selain itu, beberapa langkah stimulus fiskal yang telah diumumkan merupakan pengulangan pengumuman.
Oleh karena itu. kemungkinan besar tidak akan mempunyai efek tambahan pada proyeksi pertumbuhan.

Tidak bermanfaat
Langkah nasional yang terpisah-pisah tersebut tidak akan bermanfaat sebagai tindakan internasional yang terkoordinasi. Padahal, berbagai manfaat tersebut adalah signifikan.

Pertama, keuntungan nyata dan psikologis. Langkah stimulus dari satu negara mengalir ke para mitra dagang mereka, menciptakan dorongan tambahan.

Koordinasi juga penting untuk mengurangi volatilitas pasar uang dan obligasi yang mungkin merupakan akibat yang tidak diharapkan dari kebijakan yang tidak terkoordinasi tersebut.

Kedua, koordinasi adalah pertahanan penting melawan kebijakan beggar-thy-neighbour. Saya mulai melihat awal kembalinya proteksionisme yang mengkhawatirkan.

Ini ditunjukkan oleh jumlahkasus anti-dumping yang meningkat 40% pada semester 1/2008 dan terjadi peningkatan tarif secara bertahap. Bahkan dalam komitmen WTO. ada celah bagi negara-negara untuk menaikkan tarif.

Bila semua negara menaikkan tarif ke batas tertinggi (tingkat tertinggi yang konsisten dengan komitmen mereka), para eksportir dari negara berpendapatan menengah dan tinggi akan . menghadapi tarif dua kali lipat dari tarif yang berlaku sekarang.

Ulu masih ada tantangan untuk merampungkan Putaran Doha, di mana ketiadaan kemajuan merupakan kegagalan keinginan politik global yang terus berlangsung.

Ketiga, kerja sama internasional sangat penting, karena krisis ini memiliki implikasi penting bagi negara-negara berkembang. Mereka tidak membuat krisis ini, tetapi inereka telah menderita kerusakan besar karenanya.

Resesi global di negara maju telah memperlemah kesempatanekspor dari negara-negara berkembang.

Krisis keuangan juga telah membatasi aliran kredit dengan spread (sebaran) utang ke negara-negara berkembang yang meningkat tajam. Ini berarti banyak negara berkembang akan berjuang membiayai defisit mereka yang ada sekarang, apalagi mendanai paket penyelamatan fiskal yang sedang dipertimbangkan oleh ekonomi maju.

Total utang yang diberikan bank-bank pembangunan multilateral kepada negara-negara berkembang sebesar AusS41 miliar pada 2007. Ini perlu ditingkatkan secara signifikan dan berlaku konsisten terhadap keputusan Bank Dunia baru-baru ini guna meningkatkan utangnya hingga empat kali lipat. Bantuan harus ditingkatkan, currency swaps perlu ditawarkan, dan IMF mesti memperluas jangkauan fasilitas likuiditas jangka pendeknya.

Keempat, belum ada kesempatan untuk tindakan yang ter-koordinasi. Krisis ini menghadirkan gabungan persyaratan stimulus jangka pendek guna meningkatkan pertumbuhan dan lapangan kena pada 2009 dengan persyaratan jangka panjang guna menaikkan pertumbuhan produktivitas global dan mempercepat transformasi ke ekonomi karbon yang lebih rendah.

Kabar baik
Pengembangan tanggapan global terhadap krisis ini merupakan tugas yang rumit. Kabar baiknya adalah pertemuan puncak Kelompok 20 di Washington pada November 2008 dan di London pada April 2009 akan menciptakan mekanisme tindakan yang efektif dan terkoordinasi, menghimpun untuk pertama kalinya ekonomi maju dan negara berkembang, yang mewakili 85% produk domestik bruto, 80% perdagangan dunia, dan dua pertiga penduduk dunia.

Dalam waktu dekat ini, pemerintah G20 perlu memecahkan kuantum stimulus yang diper-lukan pada 2009 guna menghindari prakiraan kontraksi pada ekonomi swasta dan dampak berantai pengangguran; mencapai kata sepakat tentang isi kebijakan yang optimal guna menyeimbangkan kebutuhan ekonomi jangka pendek dan panjang.

Selain itu. untuk mengkoordinasi penerapan langkah-langkah ini dan untuk mengembangkan strategi pengakhiran jangka menengah guna memastikan bahwa keberhasilan untuk bertahan dari krisis ini tidak merantai kita dengan inflasi jangka panjang.

Seluruh langkah ini akan menuntut kerja sama antarpemerin-tahyang belum pernah ada sebelumnya. Bila kita gagal, akibatnya akan buruk.

Namun, bila kita menerima tantangan ini. kita tidak hanya mengurangi dampak pengangguran jangka panjang, tetapi juga akan memulai memunculkan bentuk tata pemerintahan ekonomi baru yang menopang kekuatan globalisasi yang telah lama memanggil-manggil.

Sumber : Bisnis Indonesia

Kebijakan BBM Picu Masalah

Kebijakan harga bahari bakar minyak (BBM) yang mengacu pada harga pasar harus diubah. Kondisi itu memicu ketidakpastian harga di dalam negeri. Langkah pemerintah menghapus subsidi premium dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 dianggap pengamat dapat memicu ketidakpastian.

Pasalnya, dengan menghapus subsidi premium, harga BBM tersebut akan mengikuti harga minyak dunia yang saat ini berfluktuasi. Akibatnya, harga selalu berubah.

"Hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian untuk masyarakat menengah ke bawah. Pasalnya, tiap jangka waktu tertentu harganya akan selalu berubah," ujar pengamat ekonomi Econit Hendri Sa-parini, di sela sebuah seminar di Jakarta, kemarin.

Oleh karena itu, Hendri Sa-parini menegaskan, subsidi untuk BBM jenis tertentu mutlak terus dilakukan, walau keadaan sedang krisis. "Kita sedang dalam kondisi krisis. Namun, alokasi dana untuk subsidi harus tetap ada," tutur Hendri.

Hendri juga mengingatkan pemerintah untuk melihat kondisi masyarakat maupun konstitusi sebelum memberlakukan harga BBM seperti saat ini.

"Kondisi masyarakat kita yang belum siap harus dipertimbangkan. Selain itu, konstitusi melarang harga BBM diberlakukan dengan harga pasar," ujar Hendri.

Senada dengan Hendri, pengamat energi dari ReforMiner Institute Nanda Avianto Wicaksono menganggap bahwa pemerintah belum saatnya melepas harga premium sesuai dengan harga pasar.

"Negara kita ini bukan negara maju. Yang kita tahu, di negara maju memang harga BBM mengikuti harga pasar dunia. Jika mau seperti itu, kita harus melihat dulu kondisi negara kita. Sangat jelas, ekonomi di negara kita ini masih jauh di bawah rata-rata, dan sarana transportasi negara kita inimasih sangat tidak memadai," ujarnya.

Seperti diberitakan (Media Indonesia, 14/1), pemerintah menghapus anggaran subsidi premium dari APBN 2009. Dengan demikian, dalam APBN 2009, subsidi BBM yang mencapai Rp57,6 triliun hanya untuk solar dan minyak tanah.

Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu, premium akan mengikuti harga pasar. Harganya akan dievaluasi pada tanggal 15, setiap bulannya.

Kendati demikian, pemerintah sebenarnya tetap menyiap-kan anggaran subsidi premium untuk berjaga-jaga seandainya harga minyak dunia kembali melonjak. Pemerintah mematok harga maksimal premium (batas atas) sebesar Rp6.000 per liter.

Konsumsi naik Sementara itu. pada hari pertama pemberlakuan harga baru premium dan solar menjadi Rp4.500 per liter. Pertamina mencatat konsumsi BBM masyarakat naik hingga 30%.

"Hingga pukul 15.00 WIB, Kamis (15/01), Pertamina telah menyalurkan 12.288 Kl melalui depot Plumpang, atau naiksekitar 30% dari pasokan pada Rabu (14/01)sejumlah 9.000 Kl," ujar Vice President Communications PT Pertamina (Persero), Anang R Noor, kemarin.

Sementara itu. Badan Pengatur Hilir Migas mencatat terjadi antrean di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) akibat masyarakat yang menahan pembelian sampai harga baru BBM bersubsidi berlaku. Namun, BPH Migas menjamin pasokan premium dan solar mencukupi sehingga tidak akan terjadi lagi kelangkaan.
Sumber : Media Indonesia

Senin, 12 Januari 2009

Sunset policy adalah soal kejujuran

Tulisan Liberty Pandiangan dengan judul Sunset policy adalah hak rakyat (Bisnis Indonesia, 11 Desember 2008), tampaknya sedikit menggelitik dan menimbulkan dua pertanyaan besar. Pertama, apakah benar sunset policy merupakan hak rakyat? Kedua, sejak kapan pajak--terkait dengan sunset policy--menjadi hak rakyat?

Pada hakikatnya sunset policy merupakan satu kebijakan untuk membantu meringankan beban pajak bagi wajib pajak yang mau dengan jujur melaporkan harta dan penghasilannya dengan benar sebagaimana diatur dalam Pasal 37A UU Ketentuam Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP). Kalau Saudara Liberty menyatakan sunset policy adalah hak rakyat, seakan memberikan arti pajak juga adalah hak rakyat.

Pernyataan demikian tampaknya sedikit kurang tepat, sebab bicara hak adalah bicara sesuatu yang akan atau seharusnya diperoleh atau dilakukan seseorang, sedangkan pajak adalah kewajiban yang berarti sesuatu yang harus diberikan atau dibayarkan kepada pihak lain-dalam hal ini-negara. Dalam literatur perpajakan belum ada tertulis pajak (atau sunset policy) adalah hak rakyat.

Kalau kita lihat sejarah pemungutan pajak di mana pun di dunia, bisa dipastikan bahwa setiap orang pasti tidak akan suka pajak. Sejak dulu tidak pernah ada orang yang rela membayar pajak.

Begitu pun keadaan sekarang, tetap saja tidak ada orang yang senang dengan pajak karena akan mengurangi penghasilan yang seharusnya dibawa pulang. Berkali-kali undang-undang pajak diubah tidak pernah disebutkan bahwa pengertian pajak merupakan hak rakyat, tetapi pajak adalah kewajiban yang harus dipenuhi masyarakat.

Lha, kalau begitu, apakah kita bisa menghindari pajak? Tentu tidak. Masyarakat hanya bisa menyikapi dan mematuhinya karena masyarakat itu sendiri sudah menyetujui adanya pemungutan pajak melalui produk hukum undang-undang pajak.

Kepastian dan kejujuran

Persoalan lain sunset policy adalah soal kepastian hukum terkait dengan ketentuan Pasal 37A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP). Soal kepastian hukum ini menjadi sedikit serius karena beragamnya pertanyaan dan pendapat yang ada di masyarakat.

Kekhawatiran masyarakat soal dicabutnya ketentuan Pasal 37A UU KUP bila rezim pemerintahan berganti dan wajib pajak bisa diperiksa lagi atas data yang sudah dilaporkan, seharusnya tidak perlu terjadi. Kalaupun nanti akan dibuat undang-undang pajak baru, sesuai dengan asas hukumnya undang-undang tidak boleh berlaku surut (retroaktif). Oleh karena itu, kebijakan sunset policy yang akan berakhir 31 Desember mendatang sudah final. WP tidak perlu khawatir akan diperiksa lagi. Dengan kata lain, kebijakan sunset policy sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Di sisi lain, persoalan sunset policy sebenarnya tidak hanya soal kepastian hukum. Tetapi harus dilihat juga dari sisi kejujuran wajib pajak itu sendiri.

Misalnya saja wajib pajak ketika belum mengikuti sunset policy mengaku memiliki dua buah rumah, lalu ketika mengikuti sunset policy mengisi SPT-nya menjadi tiga rumah, padahal wajib pajak memiliki empat atau lima rumah.

Ketakutan wajib pajak sebenarnya bukan pada kepastian hukum dari ketentuan yang ada, melainkan lebih pada aspek kejujuran wajib pajak sendiri. Sudah jelas dinyatakan bahwa atas data dan informasi yang tercantum dalam SPT PPh tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainnya. Dan tidak akan dilakukan pemeriksaan kecuali data yang disampaikan tidak benar (Pasal 4 dan Pasal 5 PerMenkeu No. 66/PMK.03/2008).

Dengan kata lain, sunset policy ingin memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk jujur dalam melaporkan datanya. Kalau Wajib Pajak tidak jujur, tentu tidak ada yang bisa menjamin untuk tidak diperiksa. Kejujuran sebenarnya mencerminkan kepastian hukum itu sendiri. Bila wajib pajak jujur, jaminannya adalah tidur nyenyak. Untuk itu tidak ada kata lain selain kata 'manfaatkanlah segera sunset policy'.

Sunset policy yang diberikan undang-undang seharusnya dipandang sebagai kebaikan hati pemerintah. Artinya, pemerintah tidak ingin melihat masa lalu dari kondisi atau keberadaan wajib pajak. Pemerintah lebih melihat pada masa depan data dan administrasi perpajakan yang lebih baik. Dengan sunset policy, kesalahan wajib pajak ditoleransi sepanjang wajib pajak jujur melaporkan harta dan atau penghasilannya. Ini yang diinginkan pemerintah.

Bisa dikatakan bahwa kejujuran melaporkan data yang benar merupakan ekuivalen dengan diberikannya penghapusan sanksi pajak serta tidak dilakukannya pemeriksaan dalam rangka sunset policy. Adalah tidak fair bila wajib pajak menuntut penghapusan sanksi pajak tetapi tidak mau melaporkan datanya dengan benar.

Kebaikan hati

Informasi yang disampaikan Saudara Liberty Pandiangan bahwa melalui sunset policy, negara akan memberikan sesuatu kepada masyarakat yakni hapusnya sanksi pajak. Karena masyarakat akan mendapatkan sesuatu dari negara, kedudukan sunset policy sebenarnya merupakan hak istimewa bagi rakyat.

Kalau pemerintah memberikan sesuatu berupa keringanan pajak kepada wajib pajak, bukan berarti itu hak rakyat. Keringanan berupa hapus sanksi pajak merupakan kebaikan hati pemerintah kepada wajib pajak. Sedari awal sudah jelas bahwa pajak tidak disukai orang. Oleh karena itu, sunset policy yang memberikan penghapusan sanksi pajak bukanlah hak rakyat, melainkan merupakan kebaikan hati pemerintah untuk tidak mengenakan sanksi pajak.

Sekalipun undang-undang perpajakan menganut self assessment system, bukan berarti wajib pajak mempunyai hak semaunya untuk menghitung besarnya pajak terutang. Lagi-lagi kejujuran wajib pajak tetap dituntut untuk melaksanakan kewajibannya dengan benar. Bila tidak, pajak yang bersifat memaksa wajib dipenuhi.

Seandainya tidak ada sunset policy pun, sebenarnya semua orang yang sudah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif, wajib membayar pajak termasuk sanksi-sanksinya. Dengan demikian, sunset policy adalah bentuk kebaikan hati (undang-undang atau pemerintah) untuk tidak menagih sanksi pajak kepada wajib pajak. Untuk itu, marilah bersama memanfaatkan sunset policy agar dapat tidur dengan nyenyak.

Richard Burton
Alumnus Magister Hukum Ekonomi FHUI

Tarif Sesuai dengan Berat yang Dipikul

Mulai 1 Januari 2009, Indonesia bakal menerapkan aturan main yang baru soal pajak penghasilan (PPh). Ya, awal 2009 menjadi garis start buat pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 36/2008 tentang PPh.

Menengok aturan perpajakan yang akan berlaku mulai tahun 2009
Tentu saja banyak perubahan signifikan yang lahir dari beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 September 2008 itu. Sebut saja, tentang penurunan tarif PPh orang pribadi dan badan, masing-masing dari 36% menjadi 30%, dan dari 30% menjadi 28%.

Lalu, ketentuan yang mengatur penghasilan tidak kena pajak (PTKP) perseorangan dari saat ini paling sedikit Rp 13,2 juta setahun menjadi Rp 15,8 juta. Hal ini diharapkan bisa meringankan wajib pajak menengah ke bawah.

Dalam UU PPh yang baru juga ada pemberian fasilitas tarif khusus yang lebih rendah bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Disamping itu, pemerintah tetap memberikan insentif atawa keringanan pajak untuk mendorong investasi dan stabilisasi harga pangan.

Nah, dari beleid yang merupakan revisi UU Nomor 7/1983 tersebut muncul sedikitnya 16 peraturan pemerintah. Contohnya, yang mengatur soal bantuan atau sumbangan termasuk zakat. Lalu, aturan tentang warga Indonesia yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau populer dengan singkatan NPWP.

Departemen Keuangan masih menggodok rancangan peraturan pemerintah (RPP) itu. Dua diantaranya sudah selesai tahap harmonisasi di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham). Keduanya adalah RPP tentang tarif fiskal luar negeri dan RPH tentang PPH bidang usaha berbasis syariah.

Hanya, kedua produk turunan UU PPh ini belum terbit. Soalnya, "Belum ditandatangani Presiden."kata Djonifar Abdul Fatah, Direktur Perpajakan II Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Yang pasti, dia menambahkan, dua RPP itu akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2009.

Kalau aturan main soal fiskal tersebut sudah terbit, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Depkumham Wicipto Setiadi menjelaskan, wajib pajak yang mau plesiran ke luar negeri dan sudah memiliki NPWP tidak dipungut biaya fiskal sepeser pun.

Tapi, yang belum punya kartu sakti itu mesti merogoh kantong lebih dalam lagi. Pasalnya, Wicipto menyatakan, buat orang yang mau bepergian ke luar negeri melalui jalur udara tapi belum mengantongi NPWP, tarif fiskalnya naik, dari awalnya Rp 1 juta menjadi Rp 2,5 juta. Adapun yang lewat jalur laut, pemerintah menaikkan ongkos fiskalnya menjadi Rp 1 juta dari sebelumnya Rp 500.000.

Namun, tetap ada pengecualian, Meski belum memiliki NPWP, orang-orang ini tetap bebas fiskal. Pertama, tenaga kerja Indonesia alias TKI. Kedua, jamaah haji. Ketiga, mahasiswa yang akan belajar ke luar negeri. Keempat, orang yang bepergian untuk misi kesenian dan olahraga. Kelima, orang yang belum berusia 21 tahun dan masih menjadi tanggungan orang tuanya. Tapi tentu dengan syarat,"orang tuanya sudah memiliki NWP,"tambah Wicipto.

RPP PPh Bidang Usaha Berbasis Syariah juga akan mengatur tentang besaran tarif. "Angkanya sama dengan yang ada di undang-Undang PPh, yakni yang ada di Pasal 17 ayat 2c dan Pasal 23 ayat 23a,"papar Wicipto.

Pasal 17 ayat 2c UU PPh berbunyi: "Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% dan besifat final."

Sedangkan Pasal 23 ayat 23a isinya: "Kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak sebesar 15% dari jumlah bruto."

Djonifar bilang, aturan dan penerimaan perpajakan selalau berdiri dua sisi layaknya uang logam. Artinya, regulasi mendukung pemasukan negara dari pajak tapi juga harus netral dan adil. "Sesuai dengan berat yang dipikul sehingga tidak memberatkan pemerintah dan wajib pajak,"ujarnya.

Tahun depan, Ditjen Pajak kebagian beban setoran sebanyak Rp 647,8 triliun. Salah satu cara untuk memenuhi target ini adalah lewat pelaksanaan UU PPh yang baru. Jelas, mencapai target itu bukan tugas yang gampang lantaran krisis global belum berakhir.

Ketua Umum Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi sudah memberi sinyal pemerintah bakal kehilangan pajak Rp 200 triliun tahun depan. "karena bisnis usaha tidak bisa berjalan,"ungakp dia.

Pajak daerah
Satu lagi produk hukum yang mengatur upeti di tahun kerbau adalah pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Penggodokan rancangan Undang-Undang (RUU) ini sudah mendekati final. "Tinggal pajak rokok saja yang ,masih alot,"ungkap Ketua Panitia Khusus RUU PDRD Harry Azhar Aziz.

Aturan pajak daeeah lain, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) sudah oke. Wewenang memungut upeti iini di sektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan masih menjadi milik pemerintah pusat. Sedang di bidang perkotaan dan pedesaan pindah ke tangan pemerintah daerah (pemda).

Kemudian, pembahasan pajak kendaraan bermotor juga sudah kelar. hasilnya, tarif dikerek 1,5% dari yang berlaku sekarang. Kalau punya kendaraan lagi atas nama oarang yang sama, pajaknya naik 10%. "Begitu seterusnya naik 100%, progresif atas nama orang yang sama,"ujar Harry.

Hanya, Pemda tidak boleh lagi menarik pajak lingkungan. Meski kalau ditotal seluruh daerah berpotensi kehilangan Rp 4 triliun-Rp 5 triliun, mereka akan dapat kompensasi. Dari PBB, pemerintah daerah bisa memperoleh Rp 7 triliun sampai Rp 8 triliun.

Harry memastikan UU PDRD yang baru ini tidak bakal memberatkan pengusah di daerah. Sebab, ada kejelasan mana yang boleh dan tidak boleh dipungut pajak dan retribusi. Sebelumnya, "Pemda banyak bikin peraturan daerah (perda) yang bermasalah."kata anggota DPR dari fraksi Parta Golkar ini.

by: S. S. Kurniawan

Sunset policy adalah hak rakyat

Akhir-akhir ini, sunset policy jadi pembicaraan hangat berbagai kalangan, terutama pengusaha apalagi iklannya tersebar di mana-mana, baik media cetak, visual, outdoor, bahkan lewat pesan singkat. Bisa jadi, kondisi ini terkait jangka waktunya yang tinggal menghitung hari, akan berakhir 31 Desember 2008.

Sunset policy dapat dikatakan sebagai hadiah dari negara kepada masyarakat pada 2008 yakni fasilitas berupa pemberian penghapusan sanksi pajak. Kebijakan ini sebagai amanat Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Karena penghapusan pembayaran pajak hanya sebagian dari keseluruhan kewajiban pajak, yakni atas sanksi pajaknya, kebijakan ini dapat juga disebut sebagai tax amnesty mini.

Sanksi pajak berupa bunga muncul jika wajib pajak (WP) tidak atau belum membayar pajak yang terutang. Padahal, tanggal jatuh tempo yang ditetapkan UU sudah lewat. Besarnya 2% sebulan dari pokok pajak. Contoh sederhana, jika pada tahun pajak 2006 ada perhitungan pajak penghasilan (PPh) yang belum benar, yang mengakibatkan pajak terutang Rp10 miliar berarti, hingga Desember 2008 ada sanksi bunga Rp4,8 miliar. Maka, pajak yang harus dibayar Rp14,8 miliar. Namun, dengan memanfaatkan sunset policy, sanksi pajak yang Rp4,8 miliar akan hapus.

Penghapusan sanksi pajak tersebut tidaklah secara otomatis, tetapi harus melalui permohonan WP. Mekanismenya melalui penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh. Hal ini sesuai prinsip self assessment dalam perpajakan kita.

Ada dua titik pokok pemberian sunset policy. Pertama, jika atas SPT Tahunan PPh tahun pajak 2006 dan sebelum-sebelumnya yang telah disampaikan WP ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP), ternyata belum benar. Sehingga, setelah dihitung kembali, masih ada pajak yang harus dibayar. Caranya, WP menyampaikan pembetulan atas SPT tersebut.

Kedua, jika orang pribadi belum terdaftar sebagai WP. Padahal, ia telah memperoleh penghasilan yang jumlahnya di atas besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP) setahun. Caranya, secara sukarela (self assessment) mendaftarkan diri ke KPP untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Atas pemanfaatan sunset policy ini, selain sanksi pajaknya hapus, juga tidak dilakukan pemeriksaan pajak. Kecuali, jika pada kemudian hari terdapat keterangan atau data baru (novum) yang menyatakan bahwa SPT yang disampaikan tidak benar. Atau SPT menyatakan lebih bayar.

Hak rakyat
Pertanyaan yang mengemuka selama ini di masyarakat adalah, apakah sunset policy itu kewajiban atau hak bagi masyarakat? Pertanyaan ini muncul tidak terlepas dari masih adanya perbedaan, atau bahkan salah persepsi mengenai sunset policy itu sendiri.

Mengacu pada pengertian pajak dalam UU KUP, yang di antaranya menyatakan sebagai kontribusi wajib kepada negara. Berarti, pajak bukanlah sekadar sumbangan, atau iuran, atau partisipasi semata dari masyarakat kepada negara. Yang boleh dijalankan atau tidak. Namun, sebagai kewajiban, maka pajak setara dengan wajib bela negara. Bila tidak dibayar, negara dapat memaksa. Tindakan ini didukung adanya UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Dalam pelaksanaan, kewajiban perpajakan yang berbasis self assessment, tidak tertutup kemungkinan ada penghasilan atau biaya yang belum dilaporkan dalam SPT. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Akibatnya, jika dibetulkan SPT-nya, maka masyarakat tentu akan terbeban mengeluarkan dana yang banyak. Karena selain membayar pokok pajak, juga atas sanksi bunga 2% sebulan.

Namun, berangkat dari esensi sunset policy yakni diberikannya penghapusan sanksi pajak kepada masyarakat. Bahwa pemberian fasilitas ini berlaku umum kepada semuanya, karena merupakan amanat UU. Dalam konteks ini, melalui sunset policy maka negara akan memberikan sesuatu kepada masyarakat, yakni hapusnya sanksi pajak. Jadi, bukan sebaliknya, di mana masyarakat akan membayar sanksi pajak.

Karena masyarakat akan mendapatkan sesuatu dari negara, sehingga kedudukan sunset policy sebenarnya merupakan hak istimewa bagi rakyat.

Tentu, masyarakatlah yang menentukan, apakah mau mendapatkan hak sunset policy atau tidak. Jika tidak, kondisinya akan terasa pada tahun 2009. Bahwa atas SPT yang tidak benar, yang mengakibatkan masih adanya pajak terutang, akan ditagih beserta sanksi bunganya 2% sebulan.

Bahkan, khusus kepada orang pribadi. Jika tetap tidak mendaftar sebagai wajib pajak, bila statusnya karyawan akan dikenakan PPh Pasal 21 lebih tinggi 20% dari tarif normal. Bahkan, jika memperoleh penghasilan yang terutang PPh Pasal 22 dan Pasal 23, dikenakan pajak lebih tinggi 100% dari tarif normal. Selain itu, bila berpergian ke luar negeri akan membayar fiskal luar negeri.

Sebagai hak istimewa dalam perpajakan, Ditjen Pajak telah berusaha dengan berbagai cara dan media untuk mensosialisasikan sunset policy secara luas.

Maksudnya, agar masyarakat yang belum atau tidak tahu, tidak dirugikan. Sudahkah Anda memanfaatkan sunset policy?

Liberti Pandiangan
Kepala Subdit Kepatuhan WP dan Pemantauan Ditjen Pajak

Belajar pajak dari Paman Sam

Pajak sebagai sumber penting pendapatan untuk pembangunan negara sudah umum diketahui. Namun, belum semua pemimpin negara menyadari betapa pentingnya peranan dan eksistensi pembayar pajak dalam menentukan jalannya suatu pemerintahan.
Amerika Serikat yang memiliki sejarah perpajakan yang panjang, saat ini merupakan salah satu negara yang bukan hanya menjadikan setoran pajak yang penting, melainkan juga menjadikan pembayar pajaknya (tax payer) selalu menjadi isu sentral.


Istilah yang digunakan pun terdengar lebih ramah, yaitu pembayar pajak dan bukan wajib pajak. Jumlah pembayar pajak sangat besar sekitar 130 juta, sedangkan seluruh penduduk baik warga negara maupun pemegang kartu izin tinggal tetap; secara otomatis akan memiliki nomor pokok pajak (SSN=social security number).

Sekitar 2 minggu setelah bayi dilahirkan di Amerika Serikat, akan menerima via pos kartu SSN dari kantor pusatnya di Kota Baltimore, negara bagian Maryland (MD). Demikian pula bagi para imigran dan yang berizin tinggal tetap lainnya, serta mahasiswa internasional, memiliki kartu SSN merupakan top priority yang harus didapat.

Biasanya, paling lambat 3 minggu setelah dokumennya diproses Imigrasi saat tiba di pelabuhan pendaratan di seluruh Amerika Serikat; kartu SSN akan dikirim juga via pos ke alamat yang dilaporkan dalam dokumen yang ditandatangani.

Kartu SSN merupakan pusat dari berbagai kegiatan kehidupan di AS. Untuk permohonan kartu identitas, SIM, paspor, pembukaan rekening bank dan bursa, asuransi kesehatan, dan berbagai hal lain selalu ditanyakan nomor kartu SSN.

Untuk pengurusan paspor dilakukan di kantor pos (bukan kantor imigrasi) bagi bayi yang baru dilahirkan, diperlukan hanya kartu SSN dan surat kelahiran. Setiap melamar pekerjaan, kartu SSN akan ditanyakan. Tanpa memiliki kartu SSN, berarti mereka bekerja secara ilegal dan pasti memperoleh gaji lebih rendah serta ada ancaman deportasi.

Nomor dalam kartu SSN inilah yang dijadikan dasar untuk membayar pajak dan karenanya mereka selalu dijadikan isu sentral yang harus dikuasai dan 'dimainkan', terutama oleh para politisi calon pimpinan.

Sumber utama

Pajak penghasilan merupakan sumber utama pendapatan bagi penerimaan pemerintah pusat (federal) dan telah dilakukan sejak 1890. UU itu diperbarui terakhir pada 1986. Penghasilan yang dimaksud adalah penghasilan berupa gaji, dividen, keuntungan usaha, bunga bank, investasi dalam properti dan investasi jangka panjang lainnya.

Sistem progresif dikenakan kepada individu, perserikatan, perusahaan dan badan trust dengan rentang besaran pajak 10%-35%. Negara bagian dapat juga mengenakan pajak penghasilan, tetapi merupakan tambahan dari pajak federal. Tujuh negara bagian tidak mengenakan pajak penghasilan (Alaska, Florida, Texas, South Dakota, Washington, Nevada, dan Wyoming), sedangkan dua negara bagian hanya mengenakan pajak penghasilan bersumber dari bunga dan dividen. Yang tertinggi mengenakan tambahan pajak penghasilan adalah negara bagian California (maksimum 10,3%).

Pembayaran pajak selain melaksanakan kewajibanya, juga memperoleh jaminan kesejahteraan dari uang yang dibayarkannya kepada negara. Dari pajak yang dibayarkan, 7,65% disisihkan dan dikelola oleh Social Security Administration untuk jaminan hari tua (retirement benefits) dan asuransi kesehatan (medicare) bagi pembayar pajak. Hal itu berlaku secara umum, mulai dari pembayar pajak rakyat biasa hingga kepada pejabat negara, termasuk presiden.

Sangat menarik dan nyata, seorang mantan presiden negeri adikuasa saat berobat ke klinik kecil di Houston menggunakan kartu kesehatan medicare dan datang sendiri tanpa embel-embel protokoler.

Demikian pula untuk jaminan hari tua berlaku peraturan umum dan baku. Usia pensiun penuh adalah 65 tahun + 4 bulan bagi yang lahir 1939 dan memiliki peraturan dan perhitungan yang umum berlaku untuk semua pembayar pajak secara transparan.

Selain dari pemerintah pusat/federal, pembayar pajak menerima pula berbagai fasilitas sebagai imbalan dari pemerintah negara bagian. Hal ini termasuk setoran dana dari bagian wajib yang harus dibayar oleh kantor/perusahaan tempat mereka bekerja.

Dari bagian pajak yang disetorkan, maka 4,2 % dikumpulkan dan dikelola oleh pemerintah negara bagian untuk dana tunjangan hidup dan biaya pelatihan saat terjadi PHK.

Program inilah yang menyelamatkan ribuan pekerja yang di PHK, termasuk yang terkena karena krisis ekonomi saat ini . Meskipun setiap hari terdengar berita tutup usaha dan PHK, program itu dapat meredam kegelisahan sosial. Tunjangan untuk pekerja yang terkena PHK maksimum diberikan 26 minggu (6,5 bulan), dan setiap negara bagian mempunyai tabel perhitungan besar tunjangan masing-masing.

Selain itu, manfaat membayar pajak dapat juga dinikmati bagi yang mengalami kecelakaan dan kematian/janda melalui program SDI (State Disability Insurance= Asuransi Kecelakaan dari Negara Bagian).

Dengan berbagai program ini, pembayar pajak tidak merasa 'dipaksa', tetapi sadar penuh dengan pajak dibayar akan memperoleh pula berbagai manfaat dan perlindungan terhadap pribadi dan keluarganya.

Selain pajak penghsilan, masyarakat pemilik rumah pun secara sadar membayar pungutan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan kota. Pajak properti (sejenis PBB) dikenakan 1,8% dari nilai rumah. Dana pajak properti khusus digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum di kota (city) dan sejenis kabupaten (county).

Untuk pembangunan dan pemeliharaan di lingkungan kelompok hunian (community system), pemilik rumah dikenakan pungutan lain, Mello Roos dan/atau HOA (Home Owners Association) sebesar 2,6%-2,8% bergantung pada nilai rumah di daerah itu.

Dana yang terkumpul dari pungutan ini khusus digunakan untuk membangun/memelihara sarana umum, seperti jalan, air, listrik,saluran , sekolah, dan keamanan polisi. Nilai rumah untuk pajak ini secara transparan tertera di situs kota yang bersangkutan. Warga dapat mengajukan keberatan dan akan dipertimbangkan serta diputuskan dalam waktu 1 bulan.

Melalui berbagai kebijaksanaan ini, maka peraturan dan penggunakan pajak dan pungutan benar-benar terarah dan dikelola secara jujur dan profesional. Pemerintah dan rakyat saling percaya dan saling mendukung.

Pajak bukan lagi menjadi 'hantu yang ditakuti', tetapi pajak menjadi dana pembangunan negara dan kesejahteraan yang langsung dapat dinikmati pembayar pajak. Faktor keadilan dan kesamaan derajat dalam pembayaran pajak dan perolehan manfaatnya inilah menjadi salah satu kunci keberhasilan sistem perpajakan di AS.

Oleh Harry Tanugraha
Ketua Yayasan Karet Indonesia, kini tinggal di AS

Minggu, 04 Januari 2009

Sebagian WP terima perpanjangan sunset policy

Sebagian dari nomor Pokok wajib pajak (NPWP) yang terdaftar pada 2005 akan diperlakukan sebagai wajib pajak (WP) baru atau terdaftar pada 2008 ketika akan memanfaatkan sunset polity Dirjen Pajak menjelaskan sebagian WP yang terdaftar pada 2005 diperbolehkan menyampaikan surat pemberitahuan (SPt) tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 sena tahun-tahun pajak sebelumnya paling lambat 31 Maret 2009.

Sebagian WP itu, terutama bagi mereka yang memiliki NPWP dengan dua digit pertamanya adalah 17,18,19,27,28, 29,37 dan 38.

Hal tersebut ditegaskan oleh surat pengumuman bernomor PENG-10/PJ.9/2008 tertanggal 23 Desember 2008 yang dikeluarkan oleh Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak tentang ketentuan pelaksanaan sunset policy bagi WP yang terdaftar pada 2005.

"Masyarakat tidak perlu bimbang atau bingung karena nomor-nomor tersebut dapat diidentifikasi oleh Direktorat Jenderal Pajak," kata Direkrur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Djoko Suryo putro dalam surat pengumuman itu yang diterima Bisnis, kemarin.

Umumnya, rata-rata nomor NPWP yang disebut di atas adalah NPWP yang diterbitkan secara jabatan atau massal pada 2005.

Surat pengumuman tersebut diterbitkan menyusul banyaknya pertanyaan dari masyarakat tentang pelaksanaan sunset policy bagi WP yang telah diterbitkan NPWP dengan tahun terdaftar 2005.

Penyampaian SPT

Berdasarkan ketentuan, WP lama yang ingin memanfaatkan fasilitas sunset policy harus menyampaikan SPT tahunan PPh tahun pajak 2006 dan sebelumnya paling lambat 31 Desember 2008 serta melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian atau pembetulan SPT.

Krisis keuangan dan anjloknya harga minyak dunia berpotensi mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak pada tahun depan.

Darmin Nasution, Direkrur Jenderal Pajak, menyebutkan kecenderugan harga minyak dunia yang terus merosot sangat mungkin berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak tahun depan.

Sumber : Bisnis Indonesia

Tak Miliki NPWP, Wajib Pajak Diancam Tarif Berlipat Ganda

Jakarta, Kompas - Wajib pajak yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak atau NPWP diancam sanksi berupa tarif Pajak Penghasilan atau PPh yang berlipat ganda karena untuk penghasilan utama dan tambahan dikenai tarif berlainan.

Untuk penghasilan utama, dia akan dibebani tarif PPh lebih tinggi 20 persen dibandingkan dengan wajib pajak yang memiliki NPWP. Untuk penghasilan dari usaha sampingannya, wajib pajak tersebut akan dikenakan tarif PPh 100 persen lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak yang memiliki NPWP.

Direktur PPh Direktorat Jenderal Pajak Sumihar Petrus Tambunan mengungkapkan hal tersebut seusai menghadiri Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) PPh yang membahas Daftar Inventarisasi Masalah Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang PPh di Jakarta, Kamis (20/9).

Menurut Sumihar, hal tersebut merupakan usulan pemerintah yang masih dibahas dalam Panitia Kerja RUU PPh. "Namun, sebaiknya segeralah membuat NPWP karena sanksinya pasti akan lebih berat dibandingkan dengan tarif PPh normal," katanya.

Penghasilan tambahan di luar pendapatan utama diatur dalam RUU PPh ini sebagai bagian dari pungutan PPh Pasal 23.

Penghasilan sampingan seperti yang dimaksud dalam pasal 23 adalah terdiri dari dividen, bunga, royalti, hadiah, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi, penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta, sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat, serta sewa lainnya, tetapi tidak termasuk sewa tanah dan bangunan.

Lebih berat

Di tempat terpisah, anggota Panitia Kerja RUU PPh dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Rama Pratama mengatakan, sanksi tersebut diarahkan untuk mendorong orang membuat NPWP sehingga terekam dalam data induk pemerintah.

Oleh karena itu, F-PKS mengusulkan sanksi lebih berat, yakni 25 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tarif PPh normal bagi penghasilan utama orang yang tidak memiliki NPWP.

Saat ini tarif PPh yang diusulkan pemerintah merupakan tarif progresif karena semakin tinggi pendapatannya akan semakin tinggi tarif PPh-nya.

Orang yang berpenghasilan hingga Rp 50 juta per bulan dikenai tarif PPh 5 persen dan yang berpenghasilan Rp 50 juta-Rp 100 juta dikenai 15 persen.

Mereka yang berpenghasilan Rp 100 juta-Rp 200 juta per bulan dibebani tarif PPh 25 persen dan pendapatan di atas Rp 200 juta diwajibkan membayar PPh 35 persen. (OIN)

Kompas Cyber Media

BPK Ngotot Audit Data Pajak

JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetap mengajukan judicial review UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) ke Mahkamah Agung (MA) meski proses kompromi dengan Ditjen Pajak tetap berjalan. Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan judicial review diarahkan agar BPK bisa memeriksa data pajak, sebagaimana BPK bisa memeriksa perbankan dalam UU Bank Indonesia.

"Targetnya sama dengan UU BI bahwa perpajakan kita diaudit BPK," kata Anwar di Gedung DPR kemarin. Menurut Anwar, BPK sudah mengaudit BI dan perbankan, namun tidak pernah memberikan keterangan rekening orang per orang. BPK juga tidak pernah dituduh membuka rahasia bank. Karena itu, Anwar bersikukuh rahasia wajib pajak tidak akan terbongkar jika BPK diberikan akses pemeriksaan pajak.

Terkait upaya Dirjen Pajak menempuh jalan kompromi, Anwar menyambut baik. "Itu suatu hal sangat menggembirakan yang patut disambut dengan bagus. Tapi, itu tidak cukup. Sebab, UU itu mengebiri, mengeliminasi hak kostitusional BPK," ujar Anwar.

Hak konstitusional yang dimaksud Anwar adalah ketentuan dalam UUD 1945 yang menyebut BPK berhak memeriksa setiap sen uang negara, dari manapun sumbernya, bagaimana disimpan, dan untuk apa digunakan. "Masuknya BPK dalam audit pajak itu untuk memperbaiki administrasi perpajakan," ujar Anwar.

Perbaikan itu diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak. "Karena self assesment tanpa audit sama dengan lisensi untuk menggarong," kata mantan deputi senior Gubernur BI tersebut. Anggota BPK I Gusti Agung Rai mengatakan kompromi dengan Ditjen Pajak sebenarnya sudah memasuki tahap akhir. "BPK dan Dirjen Pajak sudah mencari solusi di mana teman-teman pajak tidak melanggar UU, dan BPK juga tidak dihalangi melaksanakan pemeriksaan," sahut Agung.

Kata Agung, kajian antara BPK dan Ditjen Pajak terkait protokoler dan aspek hukum. Jadi sedang diatur apa saja dokumen yang bisa diperiksa, bagaimana penyerahan dokumen, dan bagaimana kerahasiaan wajib pajak bisa dijaga bersama-sama. "Kita mencari win-win solution," kata dia.

Sebelumnya, Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan pihaknya membolehkan BPK mengaudit fiskus (petugas pajak) sekaligus memeriksa data pajak. Pasal 34 UU KUP menyebutkan siapapun tidak berwenang membuka data wajib pajak kecuali mendapatkan izin dari Menteri Keuangan. Izin tersebut juga hanya bisa diberikan kepada aparat penegak hukum dalam rangka penyidikan. Data wajib pajak bersifat rahasia dan Ditjen Pajak berkewajiban melindungi kerahasiaan data WP. Sanksi bisa diberikan kepada fiskus yang membocorkan data wajib pajak. (sof)

Jawa Pos

Potensi Pajak Hilang Rp 25 Miliar

Dampak Banjir Lumpur Lapindo
SURABAYA - Dampak banjir lumpur Lapindo berakibat luas pada pertumbuhan ekonomi di Sidoarjo, termasuk hilangnya penerimaan pajak. Kanwil Ditjen Pajak Jatim II memprediksi hilangnya pendapatan pajak akibat Lumpur Lapindo mencapai Rp 25 miliar.

Kepala Kanwil Ditjen Pajak Jatim II Rizal Admeidy mengatakan banyak perusahaan mencatat penurunan pendapatan dan merelokasi usaha. Bahkan juga ada yang tidak dapat beroperasi. "Penerimaan pajak sampai dengan September 2007 baru tercapai 66,43 persen," jelasnya pekan lalu.

Nilai pajak yang diterima sebesar Rp 3,1 triliun dari rencana Rp 4,690 triliun. Jumlah itu termasuk penerimaan dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan barang mewah (PPN dan PPnBM), dan pajak lainnya terealisasi Rp 2,42 triliun. Sedangkan penerimaan dari pajak bumi dan bangunan (PBB) dan BPHTB teralisasi Rp 699,5 miliar.

Meski demikian pihaknya tetap berupaya untuk melakukan peningkatan penerimaan pajak, intensif maupun ekstensif. "Secara intensif, dilakukan penggalian potensi wajib pajak (WP) yang bergerak dalam bidang usaha konstruksi dan real estate," paparnya. Selain itu melaksanakan program intensifikasi terhadap industri kelapa sawit yang masih berada di wilayah Kanwil Ditjen Pajak Jatim II.

Selain itu, Rizal menambahkan, akan melakukan berbagai kerjasama di antaranya dengan dinas pendapatan provinsi dan pihak penerima pembayaran pajak (bank persepsi). "Dengan provinsi kami akan berkoordinasi mengoptimalkan peneriman pajak khususnya PPh psal 25 dan pasal 21," jelasnya.

Sedangkan dengan pihak penerima pembayaran pajak, dioptimalkan agar ada peningkatan pelayanan dan kemudahan pembayaran pajak oleh wajib pajak. "Juga juga akan melakukan analisa SPT dan laporan keuangan, serta membuat profil WP." katanya.

Secara ekstensif pihaknya akan meningkatkan jumlah nomor pokok wajib pajak (NPWP) "Targetnya tahun ini 129 ribu WP baru, dengan ekstensifikasi WP orang pribadi berbasis karyawan dan properti," tegasnya.(erm)

Jawa Pos